banner 728x250

Ditahan Kejati Maluku, Ferry Tanaya: Saya Merasa sebagai Korban Kriminalisasi

  • Bagikan
Ferry Tanaya, tersangka dugaan korupsi pengadaan lahan pembangunan PLTMG 2016 di kabupaten Buru. (FOTO: ISTIMEWA)
banner 468x60

AMBON, SENTRALTIMUR.COM – Ferry Tanaya menyampaikan curahan hatinya usai dijebloskan ke tahanan Rutan Kelas II A Ambon, Senin (26/4/2021). Tersangka dugaan korupsi pengadaan lahan pembangunan pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) tahun 2016 di Namlea, kabupaten Buru, Maluku ini akan mencari keadilan.

Ferry Tanaya menyampaikan curahan hatinya itu melalui sebuah tulisan yang diterima redaksi sentratimur.com, Rabu (28/4/2021).

Dalam curhatnya, Ferry Tanaya merasa ada hal yang janggal dengan proses hukum yang dijalani. Dia menuding oknum penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku yang bermain dalam kasus tersebut, sehingga kasus yang diklaim tidak ada unsur pidana itu dipaksanakan untuk menjadi tindak pidana korupsi. “Saya merasa sebagai korban kediktatoran  dan kriminalisasi, karena menggunakan  hukum untuk mengubah dan  memaksa perbuatan yang bukan pidana menjadi perbuatan pidana,” keluhnya.

Ferry Tanaya juga mengklaim sangat dirugikan dalam kasus itu. Bukan hanya soal materi yang dikeluarkan untuk membeli lahan dari pemilik sebelumnya, namun kini dia harus mendekam di penjara karena dituduh menjual lahan negara kepada PT PLN wilayah Maluku-Maluku Utara.

Pengusaha kayu  ini juga menilai, jaksa penyidik  telah merekayasa Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1979 tentang  Pokok-Pokok Kebijaksanaan  Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Menurutnya, Pasal 1 ayat (1) berbunyi tentang  tanah hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai asal konversi Barat yang jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam  Undang-undang Nomor 5 tahun 1960, pada saat berakhinya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai oleh negara.

Dugaan rekayasa kasus yang dilakukan itu kata Ferry Tanaya, karena penyidik  Kejati Maluku telah  mengubah maknanya menjadi tanah milik Negara. Padahal arti sebenarnya dari tanah yang dikuasai langsung  oleh negara adalah bukan tanah milik negara. Artinya,  adalah tanah yang belum dilekati hak atau disebut tanah negara.

“Tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah tanah negara  sebagaimana Pasal 1 butir 2 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan,” elasnya.

Tanah negara kata dia, adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah sebagaimana Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

“Kata dikuasai oleh negara bukanlah dimiliki oleh negara, sebagaimana Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-dasar Pokok Agraria, dalam Penjelasan umum Angka Romawi II bagian (2) dijelaskan bahwa dikuasai dalam pasal tersebut bukanlah berati dimiliki,” jelas Ferry Tanaya.

Dia menuding penyidik berupaya agar dirinya tidak berhak menerima ganti rugi atas tanah miliknya yang menurut mereka adalah aset milik negara. 

Padahal sama sekali secara fakta, lahan tersebut belum menjadi aset milik negara,  karena belum tercatat sebagai aset milik negara bahkan disertifikatkan, atau  hak pakai  dan hak pengelolaan atas nama pemerintah RI, pemerintah daerah maupun BUMN yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.

“Sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, Pasal 49 ayat (1) yang berbunyi “Barang Milik Negara/Daerah yang berupa tanah yang dikuasai pemerintah pusat / daerah harus disertifikatkan atas nama pemerintah Republik Indonesia / Pemerintah Daerah yang bersangkutan,” jelasnya.

Dia mengatakan upaya rekayasa yang dilakukan agar dirinya tidak berhak menerima ganti rugi pengadaan tanah merupakan kebohongan besar yang dibuat penyidik.

“Penyidik menjadikan saya seorang swasta selaku tersangka, padahal saya bukan petugas negara yang memiliki kewenangan. Saya disangkakan Pasal 55 KUHPidana karena turut membantu, sedangkan PLN tidak bersalah. Pelaku perkara pokok dalam hal ini pihak PLN tidak terbukti melakukan kejahatan korupsi dalam proses pembayaran kepada saya,” ujarnya.

Terkait kasus hukum yang sedang dijalaninya, Ferry Tanaya menyatakan masih akan mencari keadilan lewat jalur perdata.

“Saya masih mencari keadilan lewat  sidang perdata untuk mengetahui persis status dari lahan tersebut. Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk memperjuangkan hak-hak saya. Proses hukum yang dilakukan Kejati Maluku  sangat saya hargai, tapi saya juga memiliki hak untuk memperoleh keadilan dalam proses hukum,” kata Ferry Tanaya. (ST/DNI)

  • Bagikan