AMBON, SENTRALTIMUR.COM – Jaksa penuntut umum tetap mempertahankan surat dakwaannya menanggapi eksepsi Ferry Tanaya, terdakwa kasus korupsi pengadaan lahan pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) Namlea, kabupaten Buru.
Sidang agenda pembacaan replik oleh JPU atas eksepsi atau keberatan terdakwa Ferry Tanaya melalui tim kuasa hukumnya berlanjut di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon, Selasa (18/5/2021).
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Pasti Tarigan, JPU Achmad Attamimi tetap mempertahankan isi dakwaan yang sebelumnya dibacakan sebagai jawaban atas eksepsi yang diajukan terdakwa.
Menurut Attamimi isi dakwaan sudah berdasarkan fakta, sehingga diserahkan kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Ferry Tanaya untuk mempertimbangkan saat putusan sela.
JPU dalam dakwaannya menyebutkan lahan seluas 48.645 meter persegi tidak memiliki hak menerima ganti rugi pada bidang tanah di kawasan tersebut. Mengingat status tanah adalah tanah erfpacht dengan pemegang hak adalah Zadrach Wakano yang telah meninggal tahun 1981.
Di tahun 1985, ahli waris Zadrach Wakano melakukan transaksi jual beli lahan dengan Ferry Tanaya. Padahal sesusi ketentuan undang-undang, tanah status erfpacht tidak bisa dipindah tangankan kepada ahli waris atau pihak lain.
Setelah pemegang hak meninggal maka selesai sudah, hak atas tanah itu dan dikembalikan haknya kepada negara.
Namun berdasarkan fakta, Ferry Tanaya justru menerima ganti rugi dari PT PLN (Persero) yang berakibat menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 6,081 miliar.
Atas dakwaan JPU, Ferry Tanaya melalui kuasa hukum Henry Yosodiningrat mengajukan keberatan. Kuasa hukum meminta majelis hakim memperimbangkan objek perkara (lahan) yang sedang dilangsungkan sidang perdata di Pengadilan Negeri Namlea.
Melihat dalam dakwaan, JPU menyebut terdakwa tidak berhak atas tanah, dan tidak berhak menerima ganti rugi Rp 6,081 miliar. Menurutnya proses perdata masih bergulir, sehingga JPU tidak bisa menentukan berhak atau tidaknya lahan dimaksud.
“Majelis hakim harus mempertimbangkan hal ini, untuk menyatakan berhak atau tidak atas tanah dimaksud dan berhak atau tidak menerima ganti rugi atas pembebasan lahan tersebut harus diuji terlebih dulu lewat jalur perdata. Dan saat ini, sedang berlangsung perdatanya di Pengadilan,” ujar Yosodiningrat dalam sidang tersebut.
Dia menyatakan merujuk pada peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956 Pasal 1 yang berbunyi: apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat ditangguhkan untuk menunggu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang ada atau tidaknya hak perdata.
Usai mendengar replik JPU, majelis hakim menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda putusan atas eksepsi. (DNI)