BERDASARKAN data penelitian Yance Arizona dkk (2023), dari 1664 putusan Mahkamah Konstitusi dalam kurun waktu tahun 2003 -2023 sebanyak 280 putusan berkaitan dengan kepemiluan. Terbanyak dari 21 kategori yang diteliti, diikuti hukum pidana 184 putusan, kekuasaan kehakiman 171 putusan, dan pemerintahan daerah hanya berada pada urutan ke-4 dengan 106 putusan.
Saking banyaknya gugatan selain menegaskan pendiriannya sesuai putusan sebelumnya, MK juga pernah mengubah pendiriannya (overruling) berkaitan dengan isu konstitusional yang sama sebagaimana putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2003 berkaitan dengan kewenangan MK dalam penyelesaian sengketa hasil Pilkada sampai terbentuknya badan peradilan khusus, yang kemudian diubah dengan putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 dimana MK menyatakan dirinya sebagai lembaga yang permanen dalam menangani sengketa hasil Pilkada.
Juga MK melakukan praktek overruling terkait dengan putusan berkaitan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen. Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 menyatakan KPK dalam rumpun eksekutif, mengesampingkan Putusan MK Nomor 12-16-19/PUU-VI/2006 yang menyatakan KPK sebagai lembaga independen di luar eksekutif, yudikatif dan legislatif.
Namun MK juga kokoh pada beberapa isu tertentu meskipun berulang kali dimohonkan. Salah satunya berkaitan dengan ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017. Dari 31 permohonan berkaitan dengan hal tersebut, 23 permohonan dinyatakan tidak diterima, dan 6 dinyatakan ditolak.
Gugatan berulang kali dapat terjadi terhadap isu yang sama di persidangan MK, karena Pasal 60 UU MK jo. Pasal 78 Peraturan MK 2/2021 menyatakan terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang diuji berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Beberapa pertimbangan hukum dan putusan MK dalam putusannya, memiliki implikasi terhadap norma UU Pemilu dan Pilkada. Dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-XXII/2024 menyatakan Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang berbunyi, ”Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024”, bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sehingga masa jabatan kepala daerah hasil Pemilihan 2020 sampai dilantiknya kepala daerah hasil Pemilihan serentak secara nasional tahun 2024.
Dalam putusan Nomor 143/PUU-XXI/2023 MK memutus Pasal 201 ayat (5) yang berkaitan dengan masa jabatan kepala daerah hasil Pemilihan 2018 menjabat sampai dengan 2023 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai kepala daerah hasil pemilihan dan pelantikan 2018 menjabat sampai dengan 2023 dan kepala daerah hasil pemilihan 2018 yang pelantikannnya 2019 memegang jabatan selama 5 tahun terhitung sejak tanggal pelantikannnya sepanjang tidak melewati 1 bulan sebelum pemungutan suara serentak nasional 2024.
Selanjutnya dalam perkara konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024 berkaitan dengan pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10/2016 dimana Pemohon meminta penambahan syarat pengunduran diri anggota DPR, DPD dan DPRD terpilih hasil Pemilu 2024 yang akan maju di Pilkada 2024 ditolak MK. Namun MK meminta KPU mempersyaratkan bagi calon terpilih anggota DPR, DPD dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi.
Sebelumnya MK juga menegaskan tafsirnya berkaitan satu periode masa jabatan untuk kepala daerah dalam putusan MK Nomor 2/PUU-XX/2023 sebagaimana sudah pernah dipertimbangkan MK dalam putusan Nomor 22/PUU-VII/2009 dan selanjutnya putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020. Dalam hal tersebut MK berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan.
MK menegaskan kembali pertimbangan dan amar putusan dalam putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2019 yang menyatakan “masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang dijalani setengah atau lebih dari masa jabatan”, yang dikuatkan kembali dalam putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan,”…setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan”.
Karena itu, MK menyatakan permohonan Pemohon yang menghendaki agar kata “menjabat” dalam frasa “belum pernah menjabat…”, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “menjabat secara definitif”, dengan sendirinya telah terjawab dalam pertimbangan hukum putusan dimaksud.
Sebab menurut MK yang dimaksud dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan “masa jabatan yang telah dijalani” tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun pejabat sementara. (**)
Ikuti berita sentraltimur.com di Google News