banner 728x250

Selasa, Ferry Tanaya Jalani Sidang Perdana

  • Bagikan
Ferry Tanaya, tersangka dugaan korupsi pengadaan lahan pembangunan PLTMG tahun 2016 di kabupaten Buru. (FOTO: ISTIMEWA)
banner 468x60

AMBON, SENTRALTIMUR.COM – Status tersangka Ferry Tanaya sebentar lagi bakal segera beralih menjadi terdakwa.

Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon telah menjadwalkan sidang perdana bagi tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan lahan pembangunan PLTMG 10 MV tahun 2016 di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kabupaten Buru, Maluku itu.

Sesuai jadwal Ferry Tanaya akan menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Ambon, Selasa (4/5/2021) pekan depan.

“Sudah dijadwalkan. Sidangnya Selasa pekan depan,” ucap kuasa hukum Ferry Tanaya, Henri Lusikooy di Ambon, Jumat (30/4/21).

Dalam sidang perdana itu, jaksa penuntut umum Kejati Maluku akan membacakan dakwaan terhadap Ferry Tanaya dan rekannya Abdul Gafur Laitupa, mantan Kepala Seksi Pengukuran Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten Buru.

“(Agenda sidang) Perdana kan dakwaan. Nanti lihat, kalau kita ajukan eksepsi atau keberatan terhadap dakwaan jaksa itu, nanti kita putuskan di tim,” ujar Lusikooy.

Ferry Tanaya resmi menjalani penahanan oleh Jaksa di Rutan Kelas II A Ambon pada Senin (26/4/2021). Dia ditahan bersama mantan Kepala Seksi Pengukuran BPN kabupaten Buru Abdul Gafur Laitupa yang ikut terlibat dalam kasus tersebut.

Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Maluku, dalam kasus ini negara dirugikan sebesar Rp 6.081.722.920.

Kerugian negara itu terjadi dalam jual beli lahan untuk PLTMG, ditengarai akibat kecerobohan Ferry Tanaya, dan Abdul Gafur Laitupa.

Lahan seluas 48.645,50 meter persegi itu dijual oleh Ferry Tanaya kepada PT. PLN (Persero) Wilayah Maluku-Maluku Utara, untuk pembangunan PLTMG 10 MV. Indikasinya terjadi penggelembungan harga lahan.

Berdasarkan nilai jual objek pajak harga lahan hanya senilai Rp 36.000 meter persegi. Tapi, diduga terjadi kongkalikong antara oknum PT. PLN Wilayah Maluku-Maluku Utara, juga oknum BPN Buru pada pembelian lahan tersebut.

Diduga terjadi markup atau harga lahan itu didongkrak naik menjadi Rp 131.600 per meter. Padahal bila proses transaksi antara Ferry Tanaya dan PT. PLN Wilayah Maluku-Maluku Utara dilakukan merujuk NJOP sebenarnya, harga lahan yang wajib dibayar hanya senilai Rp 1.751.238.000.

NJOP ini diabaikan alias tidak dipakai sepenuhnya dalam proses pembelian lahan tersebut.

Kejati Maluku menegaskan, Ferry Tanaya tidak memiliki hak menerima ganti rugi pada bidang tanah di kawasan tersebut, mengingat status tanah itu adalah tanah erfpacht dengan pemegang hak (alm) Zadrach Wakano.

Pemegang hak atas nama Zadrach Wakano telah meninggal dunia pada tahun 1981 yang selanjutnya pada 1985 dibuat transaksi oleh ahli waris dari Z Wakano kepada Ferry Tanaya.

Sesuai ketentuan undang-undang, tanah erfpacht tidak bisa dipindah tangankan baik kepada ahli waris atau pihak lain. Setelah pemegang hak meninggal maka selesai sudah hak atas tanah itu dan dikembalikan haknya ke negara. (DNI)

  • Bagikan