Catatan Ikhsan Tualeka
Direktur Indonesian Society Network dan Direktur Maluku Crisis Center
KETIKA angin laut membawa harum aroma rempah-rempah dari perairan Maluku, ada harapan yang senantiasa tumbuh di hati masyarakatnya.
Namun, dibalik keindahan alam dan kekayaan budaya yang memikat, Ambon masih menyimpan kerentanan atau luka yang harus terus dijahit dengan benang perdamaian
Pada Minggu, 11 Januari 2025, dini hari, sebuah insiden di kawasan Tugu Trikora, Kota Ambon mengingatkan kita akan pentingnya kewaspadaan.
Perkelahian kecil antar pemuda yang berawal dari balap liar dan minuman keras, berkembang menjadi bentrokan yang melibatkan massa. Video yang menyebar di media sosial semakin memperkeruh suasana, membawa bayangan kelam konflik 26 tahun lalu kembali ke permukaan.
Tiga sepeda motor terbakar, sebuah bangunan hancur, dan beberapa orang mengalami luka-luka akibat lemparan batu.
Meskipun situasi berhasil dikendalikan, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa potensi konflik di Ambon masih ada bila tak mau dikatakan tinggi.
Ekspresi dan Ruang yang Hilang
Coba bayangkan ini: seorang pemuda dengan sepeda motornya melaju kencang di jalanan kota, dikelilingi suara sorak-sorai teman-temannya.
Bagi mereka, balap liar bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan ruang untuk mengekspresikan diri, membangun identitas, dan mencari pengakuan. Sayangnya, minimnya fasilitas publik yang mendukung kreativitas pemuda sering kali membuat energi ini tersalur ke arah negatif.
Ada banyak potensi asalkan difasilitasi atau diberikan ruang. Misalnya, ajang balap motor resmi yang dikemas dan dikelola dengan standar keamanan. Atau membangun taman kota serta ruang terbuka dan fasilitas olahraga sebagai tempat mereka berkumpul secara sehat.
Solusi berbasis sosial ini dapat menjadi langkah strategis untuk mengatasi akar permasalahan, daripada hanya mengandalkan pendekatan hukum yang sering kali tidak menyentuh inti persoalan.
Kerentanan Sosial dan Pemicu Konflik
Jika kita tarik garis lebih jauh, setidaknya ada tiga faktor utama yang membuat Ambon masih rentan terhadap konflik komunal.
Pertama, solidaritas kelompok berbasis agama; Perbedaan yang semestinya menjadi kekayaan justru seringkali menjadi sumbu konflik. Peristiwa kecil pun bisa membesar jika melibatkan sentimen agama.
Kedua, media sosial sebagai katalis; Di era digital, narasi provokatif di media sosial dapat menyulut api di tengah masyarakat yang masih tersegregasi.
Ketiga, residu konflik lama: Kenangan buruk dari konflik 1999 masih meninggalkan bekas di banyak kalangan, sehingga mudah terprovokasi.
Pendekatan keamanan memang penting, tetapi tidak cukup. Solusi berkelanjutan harus mencakup kesejahteraan, resolusi multikultural, dan pengelolaan media sosial yang bijak.
Realitas yang tentu saja memerlukan upaya antisipasi dan mitigasi terus-menerus. Baik itu melalui pendekatan keamanan, menjaga stabilitas sosial, dan resolusi konflik, tapi yang tak kalah pentingnya adalah dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).
Sebab akar persoalan lainnya, seperti tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, berkelindan dengan adanya kebiasaan minum minuman keras dan balapan liar di kalangan pemuda turut memperkuat dan memperbesar kerentanan.
Diperlukan penegakan hukum yang konsisten untuk memberikan sinyal bahwa pemerintah serius dalam menjaga keamanan dan keadilan bagi seluruh masyarakat Maluku. Di sisi lain, pengawasan keamanan juga harus diperkuat.

Pendekatan yang lebih kreatif bisa dilakukan, seperti dengan menginisiasi adanya satu unit pengamanan yang secara rutin melakukan patroli dan edukasi di masyarakat, antara lain untuk mencegah dan mengontrol ‘kumpul-kumpul’ pemuda dengan konsumsi miras tradisional.
Inspirasi dari Kota Davao
Sepertinya Kota Ambon perlu belajar dari Davao, kota di Filipina dalam menghadapi masalah serupa. Davao adalah contoh nyata bagaimana keberanian dan kreativitas bisa mengubah wajah sebuah kota.
Dengan pendekatan yang tegas namun manusiawi, Davao mengembangkan unit keamanan khusus seperti Davao Death Squad (DDS). Unit ini tidak hanya menjaga keamanan tetapi juga merangkul masyarakat melalui edukasi dan patroli rutin.
Hasilnya? Davao kini dikenal sebagai salah satu kota paling aman di Filipina. Sektor pariwisatanya maju masyarakat hidup dalam harmoni.
Apa yang dilakukan di Davao bisa menjadi inspirasi bagi Ambon. Bukan untuk meniru secara persis, tetapi untuk mengambil esensi dari strategi mereka: integrasi antara pendekatan keamanan dan pembangunan komunitas.
Resolusi Multikultural
Generasi muda adalah harapan masa depan Ambon. Di tengah keberagaman etnis dan agama, mereka perlu dibekali keterampilan multikultural sejak dini.
Pendidikan formal maupun informal harus dirancang untuk mengajarkan nilai-nilai toleransi, menghormati perbedaan, dan hidup bersama secara harmonis.
Bayangkan sebuah sekolah di Ambon yang mengintegrasikan pelajaran tentang keberagaman dalam kurikulumnya. Anak-anak belajar untuk memahami konteks sosial dan psikologis masyarakat mereka.
Mereka diajarkan untuk tidak membawa sentimen pribadi ke ranah publik, apalagi menyeret persoalan personal itu ke konflik komunal.
Selain itu, penggunaan media sosial juga harus mendapat perhatian serius. Edukasi tentang literasi digital perlu ditingkatkan agar masyarakat, khususnya generasi muda, dapat menggunakan platform ini secara bijak.
Provokasi dan narasi yang memecah belah harus dicegah, sementara konten yang mempromosikan harmoni harus diperbanyak.
Ada semacam pantangan sosial untuk tidak disentuh dan dieksploitasi secara berlebihan, seperti politik identitas (agama) atau simbol-simbol komunitas (adat), apalagi hingga menarik persoalan personal ke konflik komunal.
Keterampilan multikultural juga meliputi penggunaan media sosial dengan lebih bijak oleh masyarakat. Hindari konten yang dapat memantik sentimen kelompok, menjurus pada provokasi massa harus dapat dihindari untuk disebarkan apalagi sampai memproduksinya.
Semua ini sebagai resolusi bersama dan kemudian menjadi habitus kolektif. Intinya keterampilan multikultural adalah kemampuan masyarakat Maluku untuk beradaptasi dan hidup bersama secara harmonis dalam perbedaan (suku-agama).
Konsensus sosial merupakan elemen fundamental dalam membangun stabilitas sosial-politik, terutama di wilayah yang memiliki keragaman etnis dan agama seperti Maluku (Ramenzoni, 2021).