banner 728x250

Mengapa Petahana Murad Ismail Kalah Telak di Pilkada Maluku 2024?

  • Bagikan
MURAD ISMAIL
Mantan tim pemenangan BAILEO, Arista Junaidi bersama Murad Ismail. (ISTIMEWA)
banner 468x60

Oleh: Arista Junaidi, S.Sos. M.Kessos

Direktur Rispek Indo Strategi (RIS), Lembaga Survey dan Konsultan. Magister Universitas Indonesia. Mantan Tim Pemenangan BAILEO.

“Ini hanyalah catatan refleksi, serial keempat Pilkada Maluku. Tulisan ini merekam kepemimpinan Murad Ismail. Tak ada pretensi personal. Bertujuan untuk menjadi pelajaran kepemimpinan bagi siapapun. Bahwa, komitmen dan rendah hati adalah modal utama agar kekuasaan bisa survive dalam lingkungan demokrasi yang semakin berubah dan maju.”

Pilkada Maluku 2024 merupakan turning point (titik balik) yang menyakitkan bagi Gubernur Jenderal Murad Ismail (kami dulu menjulukinya). Betapa tidak, masuk ke gelanggang Pilgub Maluku untuk kedua kalinya, berstatus calon gubernur petahana, Murad Ismail harus rela dikalahkan oleh kompetitor politiknya, Hendrik Lewerissa.

Hendrik Lewerissa yang berpasangan dengan Abdullah Vanath, akronim LAWAMENA berhasil menghempaskan Murad Ismail-Michael Wattimena (2M) dengan selisih keterpilihan (elektabilitas) sangat telak, 23.74% versi quick count. Padahal, Pilgub Maluku 2018, Murad Ismail bisa menang dengan angka yang meyakinkan.

Hasil hitung cepat atau quick count lembaga survei Maleo Institute menempatkan Hendrik Lewerissa-Abdullah Vanath finish di rangking pertama sebagai champione 50.70%. Murad Ismail-Michael Wattimena di posisi kedua 26,96%. Sedangkan Jeffry Apoly Rahawarin-Abdul Mukti Keliobas (JAR-AMK) di urutan ketiga 22.49%.

Kekalahan sangat telak Murad Ismail-Michael Wattimena yang berstatus pasangan calon gubernur incumbent ini menarik diulas. Belum pernah ada calon gubernur petahana di Indonesia yang selisih kalahnya jauh seperti ini. Mari kita kulik.

Satu bulan sebelum pentahapan Pilgub Maluku 2024 berlangsung, saat semua bakal calon gubernur dan wakil gubernur lagi sibuknya melobi SK rekomendasi partai politik di Jakarta, posisi elektabilitas Murad Ismail tidak terkalahkan.

Aneka survei internal partai politik menokohkan Murad Ismail ada pada angka range 35% – 40%. Namun angka elektabilitas Murad Ismail hanyalah dibawah 50%. Begitupun tingkat kepuasan (satisfication) kinerja Murad Ismail tidak menembus 60% atau lebih. Ini early warning (peringatan dini) bagi petahana.

Dalam ilmu survei, jika calon petahana tidak memiliki kepuasan kinerja 60% atau lebih, serta posisi elektabilitas hanya di bawah 50% merupakan angka yang rawan. Petahana dinyatakan kuat tapi tidak kokoh. Ada celah elektabilitas yang bisa dikalahkan.

Apa yang dialami Murad Ismail juga pernah dirasakan oleh Said Assagaf pada Pilgub Maluku 2018. Saat itu, Said Assagaf sebagai calon gubernur petahana juga memiliki elektabilitas yang kuat, tapi dapat dikalahkan. Said bahkan memiliki elektabilitas dalam survei Konsultan Citra Indonesia – Lembaga Survei Indonesia (KCI-LSI) di angka 46%. Berbanding terbalik dengan Murad Ismail yang memulai konsolidasi 1 tahun pra pilkada Maluku 2018 dengan posisi elektabilitas 0,6%.

Perbedaanya ada pada hasil akhir. Said Assagaf walau harus kalah dari Murad Ismail, tetapi jaraknya tidak terlalu besar alias dibawah dua digit, yakni 9.67%. Murad Ismail-Barnabas Orno (BAILEO) 40.83%, Said Assagaf-Andreas Rentanubun (SETIA) 31.16%, dan Herman Koedoeboen-Abdullah Vanath (MANDAT) 28.01%.

Baca juga :  Sengketa Pilkada Malteng, Pj Bupati Disebut Terlibat Pemenangan Paslon Ozan-Mario

Jarak kekalahan besar yang dialami Murad Ismail mengkonfirmasi ada patahan kinerja, sikap kepemimpinan, konsolidasi tim pemenangan yang tidak beres dilakukan Murad Ismail, selama periode kekuasaannya menjadi Gubernur Maluku.

Gagal Realisasi Janji Kampanye

Murad Ismail selalu membanggakan prestasinya mendapat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari Badan Pemeriksa Keuangan RI berturut-turut selama 5 tahun menjadi gubernur Maluku. Keberhasilan ini menjadi jualan politiknya di mana-mana setiap kampanye.

Tapi Murad Ismail lupa, WTP ini adalah isu elite. Hanyalah keberhasilan kerja administrasi dan keuangan dalam birokrasi. Tidak menyentuh aspek substansi kepemimpinan politik, yakni merealisasikan janji dan program saat kampanye sebagai calon gubernur Maluku.

Murad Ismail juga selalu membanggakan angka penurunan kemiskinan dan pengangguran di Maluku yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik setiap tahunnya (yoy). Diklaim sebagai prestasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tapi data ini gampang dipatahkan karena selama 5 tahun menjadi gubernur, Murad Ismail menjadi saksi hidup bahwa ratusan ribu angkatan kerja di Maluku harus hijrah menjadi pekerja di perusahaan nikel di Weda, Maluku Utara.

Mereka bukan saja kerja, tapi juga pindah domisili provinsi. Hal itu jelas, menurunkan jumlah kemiskinan dan pengangguran, karena berkurangnya populasi masyarakat Maluku. Pekerja di perusahaan tambang itu juga berkontribusi meningkatkan pendapatan asli daerah untuk Maluku. Seperti TKI yang menyumbang devisa bagi negara.

Apakah selama Murad Ismail menjadi gubernur adakah investor besar yang masuk membuka lapangan kerja di Maluku? Jawabannya tidak. Lalu apa reasoning (alasan) kemiskinan dan pengangguran di Maluku bisa menurun? Silahkan tanyakan ke BPS.

Saat Murad Ismail membanggakan kerja rutin pemerintahannya, publik Maluku malah menanyakan 16 program janji kampanye BAILEO yang tak kunjung direalisasi. Murad Ismail terpojok, karena 16 program ini merupakan magnet yang membuat mayoritas masyarakat Maluku menjatuhkan pilihan politik kepadanya pada Pilgub Maluku 2018.

Berikut 16 program BAILEO:

  1. Pemindahan ibu kota ke Makariki, Seram dan percepatan pembangunan kantor Pemprov Maluku
  2. Rekrutmen PNS dan pejabat berdasarkan kompetensi dan mempertimbangkan keterwakilan suku, agama dan kewilayahaan
  3. Penerapan sistem e-government dan e-budgeting untuk transparasi dan pelayan publik
  4. Harga sembako stabil dan murah
  5. Mewajibkan perusahaan di Maluku mempekerjakan minimal 60% anak Maluku
  6. Biaya pendidikam gratis untuk SMA/SMK di Maluku
  7. Kartu beasiswa Maluku untuk mahasiswa berprestasi yang kurang mampu
  8. Pengembangan RSUD menjadi RSUD pusat bertaraf internasional
  9. Meningkatkan status Puskesmas biasa menjadi Puskesmas rawat inap di daerah terpencil dan terjauh.
  10. Kartu Maluku sehat untuk berobat gratis di Puskesmas dan rumah sakit
  11. Bedah rumah untuk keluarga miskin
  12. Menciptakan produk lokal one sub district/one vilage, one product
  13. Pengembangan provinsi kepulauan dan Maluku sebagai lumbung ikan nasional
  14. Pembangunan smart city di pusat kabupaten/kota di Maluku
  15. Maluku terang dengan listrik masuk desa
  16. Revitalisasi lembaga-lembaga adat.
Baca juga :  Sengketa Pilkada Malteng, Pj Bupati Disebut Terlibat Pemenangan Paslon Ozan-Mario

Dari 16 program Murad Ismail-Barnabas Orno yang populis ini, hemat penulis, ada dua program yang dampak politiknya sangat besar, yaitu; janji program pertama dan kedua.

Program pertama, menyangkut pemindahan ibu kota provinsi ke Makariki, Pulau Seram, kabupatan Maluku Tengah. Kegagalan merealisasikan program ini seperti api dalam sekam yang meledak saat momen politik tiba. Murad Ismail berkilah tak pernah menjanjikan pindah ibu kota Maluku ke Pulau Seram.

Walau faktanya, banyak rekam jejak yang dikonsumsi publik saat Murad Ismail berjanji di atas panggung kampanye akbar BAILEO di Kota Masohi. Kegagalan realisasi janji ini, membuat pemilih Seram raya (baca; kabupaten Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Maluku Tengah) ramai-ramai menghukumnya di Pilkada Maluku 2024.

Jika program pertama berefek negatif pada pemilih Seram raya, maka program kedua menghantam ketahanan simpatik pemeluk non muslim di Maluku. Murad berjanji akan adil dalam membagi jabatan birokrasi, berdasarkan agama dan suku. Namun yang terjadi, birokrasi hanya dikuasai oleh orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dan perkawanan dengan dirinya (koncoisme birokrasi). Lucunya, kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Maluku, berstatus Plt dari awal hingga akhir periode kekuasaannya.

Penempatan pejabat sama sekali tak berbasis reformasi birokrasi, tak memakai pola meritokrasi system, the right man on the right place. Tapi pola patron klien politik, diutak-atik semaunya. Siapa yang dekat dengan penguasa, akan kebagian kue kekuasaan. Birokrasi pun didominasi oleh agama tertentu tanpa melihat aspek profesionalitas.

Wakil Gubernur Maluku Barnabas Orno yang harusnya menjadi simbol perimbangan kekuasaan di Maluku hanya menjadi pajangan, tak berfungsi dalam pengisian jabatan birokrasi. Isu keadilan birokrasi ini, salah satunya yang membuat Murad Ismail tak lagi jadi primadona, dicibir habis-habisan oleh masyarakat non muslim di Maluku.

Kepemimpinan Tak Demokratis

Selama menjadi Gubernur Maluku, Murad Ismail sangat jauh dari tipe Kepemimpinan demokratis (democracy leadership), yang friendly (bersahabat), fairness (adil), dialogis dan mau mendengar bawahan. Murad Ismail kerap memakai sistem kepemimpinan top down. Pemimpin tak pernah salah, bawahanlah yang harus disalahkan.

Banyak sekali pergantian pejabat birokrasi yang aneh. Dari mulai Sekretaris Daerah hingga ke level Kepala Dinas, Badan dan Bidang. Ada pejabat yang satu tahun, bisa beberapa kali dirolling jabatannya, tanpa publik tahu apa alasannya. Benar-benar manajemen birokrasi yang amburadul.

  • Bagikan