banner 728x250

MK Lanjutkan Uji UU Ciptaker, Buruh hingga Difabel Menggugat

  • Bagikan
Mahkamah Konstitusi
banner 468x60

SENTRALTIMUR.COM –  Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Rabu (21/4). Sidang pengujian UU Cipta Kerja kembali digelar usai MK disibukkan dengan ratusan sengketa Pilkada Serentak 2020.

Pada Rabu (21/4) hari ini, MK menggelar persidangan empat perkara melalui 3 panel. Perkara pertama bernomor 105/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK-SPSI).

Persidangan perkara itu memasuki tahap perbaikan permohonan. Kuasa hukum pemohon menyampaikan UU Cipta Kerja dianggap cacat materiil karena tak sesuai Pasal 27 ayat 1 dan 2, pasal 28D ayat 1 dan 2 UUD 1945.

Kuasa hukum PP FSP TSK-SPSI juga menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil. UU itu dinilai melanggar Pasal 22A, Pasal 20 ayat 5 UUD 1945 dan Pasal 43 ayat 3 UU Nomor 12 Tahun 2019 juncto UU Nomor 15 Tahun 2019.

Selain itu, pembentukan UU Cipta Kerja dinilai tak sesuai Pasal 163 ayat 2 UU Nomor 17 Tahun 2014 serta Pasal 113 ayat 6, Pasal 226, Pasal 163, Pasal 164 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020. “Dalam pokok perkara pengujian formil, mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya menyatakan pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil dan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” kata kuasa hukum membacakan petitum pemohon.

Gugatan kedua datang dari DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Muchtar Pakpahan dan Vindra. Perkara terdaftar dengan nomor 109/PUU-XVIII/2020.

Sidang perkara tersebut juga dalam tahap perbaikan. Kuasa hukum juga membacakan petitum yang menitikberatkan pada permohonan pembatalan UU Cipta Kerja karena dianggap merugikan hak konstitusional pemohon.

Satu hal yang berbeda dari perkara lain adalah pemohon perkara ini, Muchtar Pakpahan, telah meninggal dunia. Ketua panel hakim Suhartoyo memberi saran kepada tim kuasa hukum untuk segera mengurus administrasi.

Menurut Suhartoyo, kuasa hukum bisa mengurus pergantian surat kuasa lewat notaris. Selain itu, ada opsi menarik permohonan lalu mengajukan kembali dengan surat kuasa berbeda. “Kalau ditarik, memang ada risiko-risiko tidak bisa diajukan kembali, tapi itu juga case by case. Kalau persoalannya mendasar soal kuasa atau prinsipal meninggal, Mahkamah bisa bersikap lain,” ucap Suhartoyo.

Lalu, ada dua perkara yang digelar bersamaan dalam satu panel. Dua perkara itu bernomor 5/PUU-XIX/2021 dan 6/PUU-XIX/2021.

Perkara 5/PUU-XIX/2021 mencakup pengujian formil dan materiil UU Cipta Kerja. Adapun perkara nomor 6/PUU-XIX/2021 menguji formil undang-undang tersebut.

Perkara 5/PUU-XIX/2021 diajukan oleh dua orang penyandang disabilitas. Mereka menggugat UU Cipta Kerja karena menghapus sejumlah pasal di UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. “Para pemohon kehilangan kemudahan akses terhadap gedung dan bangunan,” tutur kuasa hukum pemohon.

Para pemohon tersebut juga menilai proses pembentukan undang-undang itu cacat formil. Karena itu pemohon berharap MK membatalkan UU Cipta Kerja. Mereka pun meminta Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan UUD 1945.

UU Cipta Kerja disahkan DPR RI dan pemerintah pada 5 Oktober 2020. Pengesahan undang-undang ini diprotes keras karena tidak mengikutsertakan masyarakat dalam sejumlah tahap pembentukan.

Setelah disahkan, UU ini menuai berbagai aksi unjuk rasa. Selain itu, sejumlah kelompok masyarakat langsung menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi. (CNN/RED)

Penulis: CNNEditor: REDAKSI
  • Bagikan