AMBON, SENTRALTIMUR.COM – Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah kabupaten kepulauan Aru dan Maluku Barat Daya tahun 2024.
Perkara PHPU Pilkada Aru nomor: 67/PHPU.BUP-XXIII/2025 tidak dapat diterima. Pemohon dalam perkara ini adalah pasangan calon bupati dan wakil bupati kepulauan Aru nomor urut 1, Temy Oersopiny-Hady Djumaidy Saleh.
Pemohon menolak hasil rekapitulasi KPU yang menetapkan, paslon nomor urut 2 Timotius Kaidel-Mohammad Djumpa pemenang Pilkada Aru.
Paslon yang disokong Partai Demokrat, PKB, PAN, NasDem, Golkar, PKS, Perindo, Gelora dan PKN ini menang atas paslon Temy Oersipuny-Hady Djumaidy Saleh.
Dari 51.899 suara sah, Timotius-Djumpa meraih sebanyak 31.456 suara. Sedangkan Temy-Hady yang diusung Partai Hanura, Gerindra, PDIP, PPP hanya meraup 20.443 suara.
Sidang pengucapan putusan digelar di ruang sidang pleno gedung I MK, Selasa (4/2/2025) dihadiri 9 hakim konstitusi dipimpin Ketua MK Suhartoyo.
“Mengadili, dalam pokok permohonan mengajukan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” ujar Suhartoyo membacakan amar putusan.
Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah menjelaskan bahwa dalam pertimbangannya, Mahkamah menyoroti selisih perolehan suara antara pemohon dengan pihak terkait, yakni Paslon nomor urut 2, Timotius Kaidel dan Mohamad Djumpa. Ambang batas maksimal selisih perolehan suara di antara keduanya, seharusnya tak lebih dari 2 persen atau setara 1.037 suara.
Sedangkan dari hasil rekapitulasi perolehan suara, pemohon mendapat 20.443 suara, sedangkan pihak terkait memperoleh 31.456 suara.
Karena itu, selisih perolehan suara di antara keduanya 11.013 suara atau mencapai 21,22 persen.
Berdasarkan tidak memenuhinya persyaratan ambang batas tersebut, Majelis Hakim Konstitusi menilai pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan PHPU ke MK.
“Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Dengan demikian, eksepsi Termohon, dan eksepsi Pihak Terkait bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum adalah beralasan menurut hukum,” ujar Guntur Hamzah mengutip laman mkri.id
Perkara PHPU MBD
Majelis Hakim Konstitusi juga menolak perkara PHPU Kepala Daerah Pilkada Maluku Barat Daya (MBD) 2024.
Perkara diajukan oleh pemohon Hendrik Natalus Christiaan dan Hengky Ricardo A Pelata, paslon bupati dan wakil bupati MBD nomor urut 1.
Sidang pengucapan putusan/ketetapan perkara nomor: 135/PHPU.BUPXXIII/2025 dipimpin Ketua MK Ketua MK Suhartoyo dan 8 hakim anggota, Selasa (4/2/2025).
Pemohon melalui kuasa hukumnya Anthoni Hatane mengajukan pembatalan Keputusan KPU MBD nomor 696 tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pilkada MBD.
Berdasarkan perolehan suara setiap pasangan calon menurut Termohon (KPU), Paslon Hendrik Natalius Christian-Hengky Ricardo A. Pelata memperoleh 16.942 suara, Paslon nomor urut 02 Benyamin Thomas Noach–Agustinus Lekwardai Kilikily memperoleh 26.940 suara, dan Paslon nomor urut 03 Simon Moshe Maahury–John Johiands Uniplaita memperoleh 3.811 suara, sehingga total suara sah adalah 47.693.
Menurut Pemohon, tindakan Termohon yang meloloskan Paslon Nomor Urut 02 Benyamin sebagai calon bupati melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf n UU nomor 10 tahun 2016.
Pemohon juga mendalilkan jika calon bupati Benyamin Thomas Noach yang merupakan petahana telah menggunakan kewenangan yang menguntungkan dirinya sebagai calon pada kontestasi Pilkada 2024.
Pemohon dalam dalilnya juga menilai Benyamin Thomas Noach telah menjabat selama dua kali masa jabatan sebagai bupati MBD.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dalam pertimbangan hukum menilai masa jabatan Benyamin Thomas Noach sebagai Bupati MBD yang telah dijalani mulai dari 24 April 2019 hingga 26 April 2021. Total masa jabatannya yakni 2 tahun 3 hari atau kurang dari setengah masa jabatan bupati MBD periode 2016-2021 yang semestinya 2 tahun 6 bulan.
Majelis Hakim Konstitusi dalam amar putusan mengatakan tidak mendapatkan keyakinan akan kebenaran terhadap dalil-dalil pokok permohonan Pemohon. Oleh karena itu, terhadap permohonan a quo tidak terdapat alasan untuk menunda keberlakuan ketentuan Pasal 158 UU Nomor 10 tahun 2016 yang berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon sebagai syarat formil dalam mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota di Mahkamah.
Dengan demikian, tidak ada relevansinya untuk meneruskan permohonan a quo pada pemeriksaan persidangan lanjutan dengan agenda pembuktian, karena tanpa sidang lanjutan dengan agenda pembuktian.
Mahkamah meyakini bahwa terhadap tahapan-tahapan Pilkada MBD 2024 telah dilaksanakan sesuai dengan tahapan dan ketentuan, serta terkait permasalahan yang ada telah diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terlebih terhadap permohonan a quo Mahkamah tidak menemukan adanya kondisi/kejadian khusus.
Sedangkan dari hasil rekapitulasi perolehan suara, pemohon mendapat 16.942 suara suara, sedangkan pihak terkait memperoleh 26.940 suara atau selisih suara 20,96%.
Pemohon tidak memenuhi ketentuan pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat 2 huruf a UU nomor 10 tahun 2016. Berdasarkan tidak memenuhinya persyaratan ambang batas tersebut, Majelis Hakim Konstitusi menilai pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan PHPU ke Mahkamah Konstitusi. (MK/ANO)
Ikuti berita sentraltimur.com di Google News